Wisata  

Tadabur Sastra ke Pulau Penyengat

Tadabur Sastra ke Pulau Penyengat.
Tadabur Sastra ke Pulau Penyengat. (f/ist)

Ragamsumbar.com – Perjalanan sastra saya kali ini bermula dari sebuah pulau kecil di tengah genangan laut Kepulauan Riau. Namanya Pulau Penyengat. Di pulau ini, berlabuh riwayat asal kesusastraan Melayu. Ini lah pulau tempat Raja Ali Haji melabuhkan ‘Gurindam 12’ nya yang mahsyur itu. Saya termasuk yang beruntung bisa mengelilingi pulau ini.

Pulau Penyengat juga dikenal dengan nama ‘Penyengat Indra Sakti.’ Pulau ini hanya memiliki luas 4 km2. Jumlah penduduknya sekitar 3 ribu jiwa.

ADVERTISEMENT

SCROLL TO RESUME CONTENT


Menurut riwayatnya, pulau ini adalah hadiah perkawinan Sutan Mahmud kepada calon istrinya. Nama pulau diambil dari nama sebuah serangga. Konon dulu, ketika para pelaut dan nelayan pertama yang datang ke sana, diserang penyengat (serangga). Sejak itu lah melekat nama Penyengat untuk pulau ini bagi para pelayar.

Pulau ini pernah menjadi pusat pertahanan Riau dari jajahan Belanda. Selain itu, sekitar 1824, Penyengat juga pernah menjadi pusat pemerintahan melayu yang meliputi Riau, Kepulauan Riau, Johor dan Singapura.

Sisi lain dari Pulau Penyengat, karakternya yang khas sebagai penghasil karya sastra. Dulu, pulau ini sering disebut ‘Taman Penulis Melayu’. Masyarakat pulau ini senang menulis, dari segala usia dan semua strata masyarakat. Raja menulis, patih menulis, pedagang menulis, nelayan menulis, hingga anak-anak dan orang biasa pun menulis. Mereka tidak sungkan untuk menuliskan profesinya sebagai pengenalan diri dalam setiap tulisan yang dibuat.

Berangkat dari pelabuhan di Tanjung Pinang, kami menyeberang ke Pulau Penyengat dengan menggunakan kapal motor kecil yang biasa tersedia di dermaga. Pemilik kapal-kapal tersebut adalah masyarakat sekitar yang setiap hari berprofesi melayani angkutan dermaga. Perjalanan dari dermaga Tanjung Pinang menuju Pulau Penyengat memakan waktu lebih kurang 20 menit.

Kebetulan, saya datang ke sana bersama rombongan sastrawan nusantara. Di pelabuhan Pulau Penyengat, kami disambut kesenian Kompang, sejenis perkusi menggunakan rebana dan diiringi salawat sebagai bentuk penyambutan selamat datang kepada para pendatang. Salah seorang pimpinan rombongan dikenakan Tanjak, langsung oleh petinggi adat di Penyengat. Tanjak adalah sejenis tutup kepala khas Bumi Melayu.

Bukan itu saja, kami juga disambut oleh hidangan tradisional Penyengat berupa makanan dan minuman. Kami disuguhi Dohod yakni sejenis minuman yang terbuat dari campuran madu, kismis dan rempah lainnya. Konon kabarnya, minuman ini dulunya adalah minuman para raja di Penyengat. Selain Dohod, kami juga berkesempatan menyicipi Kirei, sejenis kue tradisional Penyengat yang terbuat dari tepung terigu dicampur kari ayam.

Tempat pertama yang kami kunjungi di Penyengat adalah Masjid Sultan Riau. Masjid ini bertahun 1832 M. Bangunannnya terbuat dari campuran tanah liat, pasir dan putih telur. Dulu, masjid ini terhubung langsung dengan berbagai aktivitas kerajaan di Timur Tengah seperti Arab Saudi, India dan Mesir.

Banyak produk kesusasteraan Islam didatangkan dari wilayah-wilayah itu. Salah satunya adalah keberadaan kitab-kitab Islam klasik seperti Fiqih, Kajian Sejarah Islam hingga Pengobatan. Semua kitab-kitab tersebut disimpan di sebuah lemari di depan pintu masjid.

Baca berita Ragamsumbar.com lainnya di Google News

ADVERTISEMENT