Ragamsumbar.com – Komite III Dewan Perwakilan Daerah Republik Indonesia (DPD RI) dengan tegas mengutuk tindakan perundungan (bullying) yang telah menyebabkan hilangnya nyawa seorang dokter anastesi, Dokter Aulia Risma Lestari.
Dokter Aulia, yang saat itu sedang mengikuti Program Pendidikan Dokter Spesialis (PPDS) di Universitas Diponegoro (Undip), diduga meninggal dunia akibat tindakan perundungan yang dialaminya.
Wakil Ketua Komite III DPD RI, Muslim M Yatim pun menyatakan rasa belasungkawa yang mendalam kepada keluarga almarhumah dan menegaskan bahwa tidak ada tempat bagi aksi perundungan di lingkungan pendidikan.
“Perundungan adalah tindakan yang tidak bisa ditolerir, terutama di dunia pendidikan yang seharusnya menjadi tempat untuk membentuk karakter dan kompetensi generasi penerus bangsa. Kehilangan nyawa seorang dokter muda yang berbakat akibat tindakan perundungan ini sangat menyedihkan dan menjadi pengingat bagi kita semua untuk melakukan tindakan nyata dalam mencegah terulangnya kejadian serupa,” ujarnya.
Komite III DPD RI juga menyerukan kepada seluruh pemangku kepentingan di dunia pendidikan, termasuk pemerintah, universitas, dan masyarakat luas, untuk bersama-sama mengimplementasikan langkah-langkah pencegahan perundungan secara efektif. Ini adalah tanggung jawab bersama untuk membangun lingkungan pendidikan yang inklusif, menghargai perbedaan, dan memupuk sikap saling mendukung.
“Kami berharap kejadian tragis ini menjadi yang terakhir dan menjadi momentum untuk memperbaiki sistem pendidikan kita. Mari kita ciptakan generasi yang tidak hanya cerdas secara akademis, tetapi juga memiliki karakter yang kuat, moral yang tinggi, dan empati terhadap sesama,” ucap Muslim M Yatim yang merupakan Senator dari Sumatera Barat ini.
Komite III DPD RI menegaskan bahwa dunia pendidikan di Indonesia harus bebas dari segala bentuk perundungan. Pendidikan seharusnya menjadi ruang yang aman dan mendukung bagi setiap individu untuk berkembang, berinovasi, dan berkontribusi secara positif bagi masyarakat.
“Pendidikan di Indonesia harus mengedepankan nilai-nilai kemanusiaan, toleransi, dan saling menghargai. Sistem pendidikan kita harus mampu membentuk masyarakat yang berpendidikan tinggi, berintegritas, dan siap menyongsong generasi emas Indonesia. Kita harus memastikan bahwa seluruh lembaga pendidikan, mulai dari sekolah dasar hingga perguruan tinggi, tidak mengakomodir bentuk-bentuk perundungan, baik fisik maupun psikologis,” tambahnya.
Muslim menjelaskan, dari data Kementerian Kesehatan (Kemenkes), terdapat 1.500 kasus pengaduan yang diterima sejak website laporan perundungan dibuka. Dari jumlah tersebut, terdapat 356 laporan yang diidentifikasi sebagai kasus perundungan. Laporan perundungan yang terjadi dalam proses pendidikan kedokteran di Indonesia, khususnya PPDS juga banyak diterima oleh Kemenkes.
“Bentuk perundungan mulai dari perundungan verbal berupa kata-kata kasar, sampai tindakan yang tidak terkait pendidikan medis, seperti mengantar jemput istri senior, membayar makanan senior, membelikan baju senior, serta membayar keperluan seniornya hingga ratusan juta rupiah sebulan,” jelasnya
Muslim menilai, diperlukan adanya tindakan tegas dari Kemenkes terhadap pelaku perundungan dalam Program Pendidikan Dokter Spesialis untuk memutus mata rantai praktik perundungan dalam Pendidikan kedokteran di Indonesia. Termasuk adanya koordinasi dengan Kemendikbudristek menngingat adanya perbedaan kewenangan dalam kasus perundungan ini. Di mana Kemenkes kewenangannya hanya ada di rumah sakit.
“Perbaikan perlu dilakukan dengan memperbaiki sistem pendidikan kedokteran secara keseluruhan, mulai dari perbaikan kurikulum dan standar pendidikan. Mengingat masalah perundungan adalah masalah yang kompleks terkait dengan budaya, psikologis, sosiologis dan finansial,” jelasnya.
Komite III DPD RI sendiri berkomitmen untuk terus mengawal dan mendukung upaya-upaya yang bertujuan memperbaiki sistem pendidikan di Indonesia, sehingga dapat melahirkan generasi penerus yang siap menghadapi tantangan global dan membangun Indonesia yang lebih baik.
(*)